• "Be Yourself Even You're Nobody"
    Blogger Widgets

    Makna Magis Man Jadda Wajada dari Sisi Qawa’id di Film Negeri 5 Menara



    Man jadda wajada adalah kalimat bahasa Arab bukan ayat al-Quran atau hadis. Dari struktur qawaid (tata bahasa Arab), kalimat tersebut adalah kalimat yang sempurna. Ucapan tersebut menurut sebagian kalangan pernah diucapkan Umar bin Abd Aziz, tetapi sebagian lagi membantahnya, dan mengatakan bahwa kalimat man jadda wajada hanyalah ucapan orang Arab yang menjadi kalimat motivasi turun temurun.

    “Siapa bersungguh-sungguh dia berhasil”, demikian arti kata demi kata dari kalimat motivasi tersebut. “Jadda” (bersungguh-sungguh) adalah kata kerja bentuk lampau, telah dilakukan, dan diistilahkan dalam ilmu qawaid dengan fi’il madhi. Pekerjaan yang telah dilakukan mengisyaratkan adanya harapan dan hasil dari pekerjaan. Hasil dari pekerjaan “Jadda” itu adalah “wajada”, yang berarti mendapatkan atau berhasil. Seperti halnya dengan kata “jadda”, “wajada” juga adalah kata kerja bentuk lampau.

    Jika demikian, arti kalimat man jadda wajada dalam posisi kata jadda dan wajada sebagai kata kerja bentuk lampau adalah; siapa yang telah bersungguh-sungguh, maka dia telah berhasil. Apa maksud “telah berhasil” jika “jadda” adalah bentuk lampau yang mengisyaratkan adanya harapan dan hasil dari pekerjaan?. Struktur kalimat inilah bagi penulis letak dari nilai magis kalimat Man Jadda Wajada.

    “Sungguh-sungguh” dalam bahasa indonesia berarti tidak main-main, dengan segenap hati, dengan tekun, dan benar-benar. “bersungguh-sungguh”, berarti berusaha dengan sekuat-kuatnya (dengan segenap hati, dan dengan sepenuh minat). Jika ditilik ke belakang, makna kata bersungguh-sungguh tentunya mempunyai sebab. Kesungguhan tidak hadir tiba-tiba dan sekejap, tapi ada sebab yang melatarbelakangi. Bahkan sesuatu yang bukan minat, dan cita-cita seseorang, menjadikan objek tujuan orang tersebut untuk bersungguh-sungguh mencapainya.
    ***
    Alif yang lahir di pinggir Danau Maninjau, anak yang cerdas dan bercita-cita untuk melanjutkan sekolahnya di sekolah umum setelah tamat Madrasah Tsanawiyah. Ibunya ingin dia menjadi orang yang sangat mengerti agama seperti Buya Hamka walau Alif ingin menjadi seorang ilmuwan seperti Habibie. Awalnya, dengan berat hati dia menolak saran dari ibunya untuk melanjutkan sekolahnya di Madrasah Aliyah. Namun, dari surat pak etek Gindo, akhirnya Alif memutuskan untuk mengikuti perintah Ibunya, namun dengan pilihan belajar di Pondok Madani.

    Alif yang tidak pernah menginjak tanah di luar ranah Minangkabau terpaksa harus naik bus tiga hari tiga malam, melintasi punggung Sumatera dan Jawa menuju sebuah desa di pelosok Jawa Timur, dan bertemu dengan pak Sutan yang menilai bahwa pondok pesantren adalah tempat karantina dan belajar bagi anaksangat mantiko. Nakal.

    Beberapa kejadian tersebut, merupakan rentetan kejadian yang dialami oleh Alif dan menjadi hal awal sebagai sebab baginya untuk bersugguh-sungguh. Ada perasaan tertantang dan malu kembali ke kampung halaman setelah bersusah payah menempuh perjalanan, tertantang untuk membuktikan dirinya bukan anak mantiko yang akan sekolah di pesantren. Jika awalnya Alif akan bersungguh-sungguh menjadi ilmuwan dari sekolah umum, namun setelah rentetan kejadian itu, keinginan baru muncul, meski dengan tujuan yang sama. Alif mencoba bertekad membuktikan bahwa pesantren juga bisa.
    Selain “bersungguh-sungguh” memiliki kepastian dari sebuah latar belakang, makna kata tersebut juga memerlukan hal yang menjadi tameng defensif. Kesungguhan yang muncul harus dipertahankan. Dalam film Negeri 5 menara, Alif mengalami hal tersebut. Rentetan kejadian berikut, adalah sebagian dari kejadian yang membuat rasa bersungguh-sungguh Alif bertahan.

    Pada hari pertamanya di Pondok Madani, Alif terkesima dengan kata magis “man jadda wajada”, terkesan dengan banyaknya peminat pondok pesantren yang harus diseleksi dengan ketat, terheran-heran mendengar komentator sepakbola berbahasa Arab, anak menggigau dalam bahasa Inggris, merinding mendengar ribuan orang melagukan Syair Abu Nawas, salut dengan kewibawaan kiyai Rais dengan gaya mengajar yang baru bagi dirinya.
    Lantas dimana letak nilai magis dari kata “wajada”?. Seperti yang diungkapkan sebelumnya, kata “wajada” adalah kata kerja bentuk lampau dan secara bahasa berarti telah berhasil. Dalam bahasa Arab, kata kerja bentuk lampau biasa dipergunakan meski kata tersebut sebenarnya belum terjadi. Ada beberapa makna dari susunan kalimat demikian, salah satu diantaranya bermakna kepastian. Dalam al-Quran sekalipun, bentuk kalimat tersebut seringkali digunakan, contohnya pada surat an-Nahl ayat: 1.

    Jika demikian, maka makna kalimat man jadda wajada adalah siapa yang bersungguh-sungguh pasti akan berhasil. Semua kejadian yang orang bersungguh-sungguh untuk melakukan dipastikan akan berhasil. Kepastian dari hasil ditentukan oleh bobot kesungguhan.
    ***
    Dipersatukan oleh hukuman jewer berantai, Alif berteman dekat dengan Raja dari Medan, Said dari Surabaya, Dulmajid dari Sumenep, Atang dari Bandung dan Baso dari Gowa. Di bawah menara masjid yang menjulang, mereka berenam kerap menunggu maghrib sambil menatap awan lembayung yang berarak pulang ke ufuk. Impian meraka terwujud dalam tekad kesungguhan yang pasti berhasil. Mereka mungkin tidak tahu makna magis mendalam yang sering mereka dengar. Tetapi, kalimat tersebut terngiang selalu, melekat menjadi tekad yang mereka yakini kepastian artinya.

    Kini Said meneruskan bisnis batik keluarga Jufri, bekerjasama dengan Dulmajid mendirikan pondok dengan semangat Pondok Madani. Baso dengan otak brilian menghapal al-Quran luar kepala mendapat beasiswa dari pemerintah Arab Saudi. Atang menjadi mahasiswa program doktoral di Mesir. Raja tinggal di london melanjutkan studinya. Di mata mereka, awan-awan menjelma menjadi negara dan benua impian masing-masing. Alif melihat awan menjadi benua Amerika, Raja bersikeras awan berbentuk benua Afrika, Baso melihat malah semua awan berbetuk benua Asia, sedangkan Said dan Dulmajid dengan semangat nasionalis, melihat awan berbentuk negara Indonesia.

    Sebuah kalimat bisa saja menjadi sugesti magis terhadap seseorang yang mendengarnya, terlebih jika hal tersebut berulang-ulang. Namun, makna dan susunan tata bahasa dari kalimat bukanlah hal yang tidak penting. Bagi penulis, apa yang terjadi pada diri Alif dan teman-temannya dalam film negeri 5 menara, berhasil mewujudkan cita-cita dengan kesungguhan dari prinsip keseharian man jadda wajada saja, akan tetapi, kalimat man jadda wajada secara tata bahasa juga secara langsung membentuk sugesti magis.

    Wallahu A’lam.


    Sumber : kompasiana

    0 Tanggapan :

    Posting Komentar