Kematian adalah sesuatu yang sulit dipahami, sekaligus begitu lazim terjadi. Umat manusia sudah sangat akrab dengan kematian sebagaimana ia juga akrab dengan kehidupan. Mati dan hidup adalah dua hal yang terus dipergilirkan. Kadang saya berhenti dan terhenyak, teringat pada orang-orang yang tidak akan lagi bisa saya jumpai ; paling tidak, bukan di dunia ini. Kematian itu begitu wajar, namun tidak pernah habis untuk dipikirkan. Mati itu mengherankan.
Saya masih ingat ketika Mak Etek menelpon dari rumah sakit untuk memberi kabar bahwa Papa sudah wafat. Saya sendirian di rumah bersama dua orang pembantu. Segera saja saya sibuk mempersiapkan segala sesuatunya ; menyiapkan tempat tidur untuk membaringkan jenazah di ruang tengah, memesan tenda untuk di depan rumah, dan sebagainya. Tubuh sibuk bekerja, tapi pikiran saya tidak pernah lepas dari kematian itu sendiri. Gerangan apa yang sebenarnya terjadi? Papa sudah tiada!
Ketika rombongan sampai di rumah dan jenazah sudah dibaringkan di ruang tengah, tak ada air mata yang mengalir di wajah. Saya sibuk memikirkan : apakah kematian itu sebenarnya? Bagaimana semua ini bisa terjadi? Wajah yang tidak pernah nampak kelelahan meski dalam puncak sakitnya sekalipun itu, kini tidak lagi memancarkan ekspresi. Tubuh yang selalu perkasa meski terbaring di tempat tidur di rumah sakit itu kini tidak lagi bergerak.
Perlu waktu semalam bagi saya untuk benar-benar memahami bahwa Papa benar-benar sudah tiada, dan tidak akan kembali lagi ke dunia ini untuk selamanya. Suatu konsep yang benar-benar susah bagi saya untuk memahaminya ; bagaimana orang yang sehari-harinya selalu hadir dalam hidup tiba-tiba direnggut begitu saja oleh sebuah kekuatan tak terlihat, tanpa kompromi dan tanpa banyak tanya. Sehari sebelumnya saya masih bersamanya, tapi kini tidak lagi. Perbedaan antara mati dan hidup hanya setarikan napas saja. Andai saya bisa melihat batasnya, dan andai saja semua ini tidak begitu tiba-tiba. Andai saja kita semua punya cukup waktu dalam hidup untuk memahami kematian. Tapi waktu tidak pernah cukup untuk menjawab semua pertanyaan.
Dalam waktu yang sangat singkat itu saya dipaksa untuk memahami bahwa manusia itu bukan tubuh yang bergerak kesana kemari tanpa tujuan. Tubuh memang tidak memahami apa-apa. Ada jiwa yang hidup di dalamnya yang memberikan tujuan kepada tubuh. Tangan, kaki, paru-paru, jantung dan otak, semuanya berhenti bekerja ketika jiwa itu pulang ke tempat asalnya, sesuai waktu yang telah ditentukan baginya. Yang terbaring di ruang tengah itu hanyalah tubuh, ia bukan Papa saya. Ya, tentu saja, rasanya tidak ada puas-puasnya mengucapkan selamat tinggal kepada tubuh yang akan dimakamkan itu, tapi Papa yang sesungguhnya telah pergi. Begitulah kenyataan yang mesti diterima dan dipahami. Andai saja ada waktu yang cukup untuk memahami segalanya. Tapi hidup ini memang tidak pernah cukup untuk menjawab semua pertanyaan, dan akal saya pun tidak cukup mampu untuk mencarikan semua jawaban.
Berita kematian Alda Rizma yang sangat mendadak kemarin sangat menyita pikiran saya. Lagi-lagi kematian. Puluhan, bahkan ratusan kematian diwartakan di televisi dan surat kabar, namun saya tidak juga paham. Agaknya subjektifitas manusialah yang menyebabkan hatinya hanya tersentuh pada hal-hal yang dikenalnya saja.
Saya ingat beberapa kali pernah berpapasan dengan Alda di Bogor. Rasanya ia hanya seangkatan di bawah saya, tapi berbeda sekolah. Saya juga kaget ketika melihatnya masih mengenakan seragam SMA, karena saya terbiasa melihat penampilannya di video klipnya dahulu. Saya pikir ia sudah mahasiswi, karena terpengaruh oleh penampilannya yang amat dewasa. Ketika itu, saya cuma berkomentar, “Wah, anak sekarang, kelebihan hormon!” Teman saya langsung terkekeh-kekeh dan mengiyakan kata-kata itu.
Lama tak terdengar kabarnya, berita selanjutnya dari Alda adalah berita overdosis narkoba dan tabrakan naas yang mengakibatkan mobilnya hancur berantakan, dan (katanya) kakinya patah serta beberapa giginya tanggal. Melihat keadaan mobilnya, saya rasa ia beruntung masih hidup. Sayang, berita berikutnya yang saya dengar malah lebih menyedihkan lagi.
Alda ditemukan dalam keadaan sekarat di sebuah kamar hotel di Jakarta. Diduga ia telah meninggal dalam perjalanan menuju rumah sakit. Hasil penyelidikan sementara menyimpulkan ia meninggal karena overdosis narkoba. Selain itu, di kamar hotelnya pun ditemukan berbagai macam obat-obatan, alat suntik, alat infus, bahkan kondom. Polisi kini dikerahkan untuk memburu lelaki yang disebut-sebut bersama Alda malam itu.
Kini, gadis yang dulu pernah membuat saya tercengang karena penampilannya yang cenderung glamor itu sudah terbaring tak berdaya. Benar-benar tak berdaya. Saya terhenyak selama beberapa saat ketika kamera televisi menyorot wajah jenazahnya. Sebelas tahun setelah wafatnya Papa, saya masih belum juga memahami kematian. Saya takjub dengan sebuah kekuatan yang mampu memisahkan tubuh dan jiwa, kemudian membuat situasi menjadi begitu berbeda. Segalanya berubah ketika jiwa berpulang ke kampung halamannya. Nothing will ever be the same again.
0 Tanggapan :
Posting Komentar